CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG MONTOK

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG MONTOK


CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG MONTOK, Hasrat-Bispak31 Seluruh orang didalamnya harus bertarung serta berkorban supaya tidak tergusur, serta tidak seluruhnya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan cerita hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang mengetahui nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, tetapi maknanya tidak sekedar itu. Denok pula bermakna montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliau sendiri waktu muda yaitu orang penari, serta seringkali ditanggap jika ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya dan Simbok temui Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak miliki banyak hutang lantaran hilang ingatan judi, dan beliau tidak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang berduka lantaran Bapak telah tidak ada, dan juga kebingungan karena sekian hari selesai Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah lantaran rumah kami diambil alih agen judi yang memberikan hutang ke Bapak. Kami tidak punyai tujuan tempat, dan uang simpanan kami tidak berapa. Simbok selanjutnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D

"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, semoga di situ mendingan dibanding di sini," kata Simbok.

Saya hanya alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima karena dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak penting ijazah, lawan begitu banyak. Selanjutnya sesudah cukuplah lama menyimak pelbagai peluang yang ada, Simbok memilih untuk manfaatkan ketrampilan kami. Dengan modal kemeja serta perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, mulai kami berdua jadi penari jalanan.

Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah bersiap ujian akhir SMA atau meniti tahun mula kuliah, serta yang di dusun tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya mengawali jalani kehidupan baru, menjual ketrampilan seni tari bersama Simbok. Awalannya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, cuman cari keramaian di mana kami dapat mendapat beberapa lembar rupiah untuk melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengevaluasi jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya gak ringan  cari uang melalui langkah sesuai ini, paling-paling yang kami peroleh hanya untuk makan kami berdua, satu atau kedua kalinya dalam hari itu. Dan tidak di semua tempat kami dapat memperoleh pemirsa yang mau bayar, terkadang kami jadi ditendang atau dihardik. Sesudah cukuplah lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekitarnya. Kami juga sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, yang datang dari kelompok menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membuat mereka ingat daerah masing-masing. Hadirnya kami dari sana terus disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Kendati pun kerapkali helai-lembar itu dikasihkan ke kami oleh kurang santun misalkan dengan diselinapkan ke kemeja kami. Apa saya serta Simbok memanglah memikat? Entahlah ya. Saya sendiri tak terasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok  sejak dulu selalu mengarahkan dan mengingati saya untuk menjaga badan meskipun melalui langkah simpel, jadi walau sawo masak, kulit saya terus mulus serta tidak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho.

Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul  sich kalaupun di katakan saya montok. Tak tahu mengapa, meskipun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap tubuh saya dapat saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya udah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur sampai saya selalu cemas dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pun kuat karena dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja jika ada yang kira demikian. Bingungnya, biarpun atas bawah besar, tengahnya tidak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu benar-benar elok. Hingga sampai usia begitu lantas beliau selalu elok. cerpensex.com Manalagi bila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruh orang nengok serta tidak tonton apapun kembali. Saya sendiri terus terasa buruk lho jika tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum melihat kami menari kok semua omong saya elok. Saya berpikir, ini sich pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, hingga lain warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat jadi tebal. Bibir  diberi gincu warna merah keren. Saya saat itu ngeluh,

"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."

Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita perlu membuat puas yang lihat."

Lambat-laun saya biasa pula pakai dandanan begitu, jadi saya bikin guyonan sama Simbok.

"Mbok, saya wis setiap hari terbentuk penganten, bentar jika nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, persis seperti kemben, kain batik, dan selendang. 

Namun memanglah yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang ketahui. 2 bulan kami bertempat di dekat Pasar, bencana ada kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya kuatir, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok gak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya mulai sejak ketabrak pula Simbok sudah tidak ada keinginan, namun tidak tahu mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya hingga sepanjang hari. Hingga tidak sampai hati saya memandangnya. Saat itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, maka itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara semacam itu. Namun apa itu betul atau tidak, saya tidak mau tahu, biarkanlah itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit dan penguburan, malahan perlu berutang kemanapun. Saya gak bisa melaksanakan acara beberapa macam buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di sewaan saja lantaran terlampau bersedih. Barangkali tiap hari saya menangis, bersusah-hati ingat Simbok, pula kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, lantaran uang udah habis serta saya pula perlu lawan beberapa tukang tagih hutang yang tidak mau tahu persoalan saya . Sehingga, 1 minggu setelah Simbok disemayamkan, saya kembali persiapan untuk keluar, menari. Dihadapan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar gak tampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya justru bertemu dengan ibu yang mempunyai kontrak. Sang ibu gak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak punyai uang, jadi saya sekedar dapat ngomong maaf, dan sang ibu malahan ngancam secara lembut. Gak apapun gak bayar, tukasnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya halangan untuk saya. Saya ingin upaya dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG MONTOK

Naasnya, hari itu pasar lumayan sepi, serta setelah dua jam saya anyar bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala banyak ingatan, bagaimana langkahnya biar kelak kalaupun pulang sudah memiliki cukup uang untuk bayar kontrak. Belum beberapa hutang yang lain. Saat siang, saya lagi jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan sedang mengalkulasi segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu hanya mengenal beliau jadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua ketimbang Simbok, barangkali umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali 2x saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya berikan kami uang tetapi beliau tidak. Namun beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendekati Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam serta berada di belakang. Tokonya tengah sepi, tak ada konsumen. WAJIB 4D

"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"

Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"

"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya mesti katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis buat ongkos penyemayaman Simbok… saat ini saya perlu bayar kontrak dua bulan…"

"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu perlu uang?"

"Tolong, Juragan," saya mengharap kembali, "Saya udah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji bakal balikkan secepat-cepatnya."

Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang baru saja ia hitung-hitung.

"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu penting uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."

"Saya saat ini  kembali kerja, Juragan," saya geram namun tak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak ingin pinjamkan uang. "Hanya ngerinya saya tidak dapat cukup uang ini hari untuk membayar kontrak. Bila berjualan, saya nggak mempunyai apapun, harus jual apa?"

Tetapi lalu tatapan Juragan kok beralih jadi aneh… Beliau dekati saya dan memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.

"Siapa yang ngomong kamu tidak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.

"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengayalkan apa artinya itu.

"Bila kamu pengin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan kedepan," bisik Juragan kembali.

Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya butuh uang, namun apa harus dengan secara sebagai berikut? Namun jika tidak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama juga. Saya tidak punyai opsi lain…

"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali sampai tidak terdengaran. Bila saja tidak ketutupan bedak, barangkali telah terlihat muka saya beralih merah seperti cabai.

Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"

Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi melihati lantai, tidak berani mengangkut kepala, namun sesekali saya ngintip ke sana-kemari menyaksikan situasi.

Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang memperlihatkan Juragan dengan seorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memperhatikan sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari omong,

"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.

"Membuka kembenmu," tukasnya.

Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, memandang uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sejumlah itu. Namun saya masih tetap kuatir. Juragan mendadak pengen ambil kembali uang itu.

"Kalaupun tidak mau ya udah," ujarnya dengan suara kurang puas.

Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Cocok tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.

"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar seusai bicara itu. sumpah, anyar ini kali ada lelaki jujur ngaku begitu.

Helai uang lima puluh ribu baru saja ditempatkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia imbuhkan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!

"Itu untuk kamu, Denok," tuturnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awalnya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat memperoleh duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat duit sekitar itu … kok enteng sekali?

"Betulan buat saya…?" Tetap tidak yakin, saya bertanya kembali.

"Iya… asal kamu membuka seluruhnya," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"

Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, dan kainnya melesat demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa peroleh uang…

"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan meminta saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.

Karena mungkin barusan saya malu serta pelan satu kali membuka kemben, Juragan dekati saya serta membuka kain batik saya. Saya langsung mundur, tetapi tangan Juragan terus menggenggam bahu saya.

"Tidak boleh takut, Denok…" tukasnya.

Juragan  menggenggam paha saya yang sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya lalu nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, dan saya kian deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya lagi nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya telah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya tampak!

"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.

Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih tetap nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa mestinya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sekalian saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.

Saya sangsi, tetapi tidak tahu mengapa, saya pula kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut ini jadi? Juragan tak henti memandang sekujur badan saya, sembari memberi pujian.

"Mari donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu pengin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…

Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.

"Euh… Juragan… ingin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"



BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama